3 Emotional Days

DAY 1

Siang itu, atau lebih tepatnya pagi menjelang siang, Dan memutuskan menelepon Ica, gadis pujaan hatinya. Dan telah secara khusus membeli kartu seluler baru, sama dengan yang Ica gunakan agar ia bisa menelepon dengan biaya murah untuk jangka waktu yang cukup lama.

Dan mencari tempat yang nyaman untuk menelepon dan akhirnya ia berdiri di depan sebuah restoran yang tak berpengunjung di tepi jalan.

Nomor Ica pun mulai ia pencet-pencet di tombol Hp-nya. Dan telah hapal benar nomor tersebut.

Percobaan pertama : Tulalit!

Percobaan kedua : Berhasil!

“Halo,” kata sebuah suara di nomor yang ia tuju – suara seorang cewek.

“Ica?” Dan memastikan.

“Iyah...,” jawab Ica.

“Happy birthday!!!” Dan langsung berseru memberi selamat kepada Ica yang berulang tahun hari itu.

“Iyah, makasih...,” Ica terdengar senang mendapat ucapan selamat. Dan mengenali suaranya yang khas ketika sedang tertawa atau sedang gembira, suara yang seperti anak kecil.

“Tapi ini siapa yah?” Ica bertanya penasaran.

“Coba tebak!”

“Sapa ya? Ga tau...,”

“Ini gw, Dan. Masa sih ga tau?”

“Oh, Dan. Tadi malem kan lo udah ngasih ucapan selamat.”

“Jadi ga boleh nelpon nih?”

“Enggak, maksud gw, lo tadi malem kan udah ngirim sms met ultah, jadi gw ga nyangka n ga bisa nebak kalo lo yang nelpon.”

“Oh...gitu. Lagi ngapain sih?”

“Ini lagi nonton TV.”

“Lho, koq ga ngerayain ultahnya? Ga makan-makan?”

“Iya, ntar siang, jam 2an mungkin.”

“Ikut dong....”

“Hahaha...,” Ica tergelak, tawanya sangat lucu bagi Dan dan ia sangat senang mendengarnya.

“Mau ikut? Ayo sini!” Tawar Ica.

“Ah, ga usah deh. Gw tunggu traktirannya aja,” Dan menolak.

“Ga ada traktir-traktiran, orang libur,” Ica balik menolak.

“Yee... ga ada hubungannya. Lo kapan balik ke Jakarta?”

“Kira-kira 3 minggu lagi kayaknya deh. Mang napa?”

“Kalau gitu traktirannya pas lo balik ke sini aja.”

“Ogah. Gw ga mau traktir lo.” Ica bersikeras.

Begitulah percakapan terus berlangsung. Mereka ngobrol cukup lama dan topik merambat ke kegiatan di kampus, dosen yang pelit, nilai ujian, delele.

Dan mencari-cari momen yang tepat untuk melaksanakan rencananya. Ia telah berencana untuk menyatakan perasaannya kepada Ica tepat di hari ulang tahunnya. Ia sudah merancang kira-kira apa yang akan ia utarakan nantinys. Akhirnya dia beranikan diri dan berkata, “Ca, gw mau cerita. Lo dengerin ya?!”

“Ok,” jawabnya dan Dan langsung membayangkan Ica bergaya seperti anak sekolahan yang duduk manis ketika sang guru masuk ke kelas dan akan menerangkan pelajaran.

“Tapi ini rahasia ya,” Dan meneruskan.

Ica hanya bergumam tidak jelas.

“Bener ya, jangan bilang siapa-siapa!” Dan masih belum bisa mulai, Ia grogi.

“Eh...tapi gw ga bisa pegang rahasia lho,” Ica menimpali.

“Ya udah terserah lo deh, mau ngapain ntar,” Dan masih grogi.

Ia diam sejenak lalu menguatkan diri dan berkata,

”Jadi gini...gw suka sama lo, Ca.”

Dan dan Ica sama-sam terdiam cukup lama. Dan lupa semua kata-kata yang telah ia persiapkan sebelumnya.

“Gw suka sama lo, Ca. Lo itu motivasi gw. Lo ingat ga pas lomba kemarin? Gw jadiin lo sebagai motivasi gw, Ca dan gw akhirnya bisa juara berkat itu.”

“Itu karna lo bisa, Dan,” Ica akhirnya buka mulut.

“Ga, itu karna lo. Trus gw juga tau kalo lo suka ma kak Hari kan?”

Kembali Ica tergelak di ujung telepon, “Hahahaha...ga, gw cuma naksir, itu cuma maen-maen aja koq,” Ica menjelaskan.

“Lo ikutan lomba itu juga karena pengen eksis didepan dia kan? Asal lo tau aja, gw juga ikutan lomba itu buat nunjukin sama lo kalau gw juga punya sesuatu yang bisa dibanggakan.”

“Oh...tengs ya,” respon Ica.

“Gw yang harusnya bilang makasih sama lo,” Dan melanjutkan.

“Eh...tapi lo tau kan gw udah punya cowok?” giliran Ica yang bertanya kepada Dan.

“Iya sih...sekarang dia dimana?” Dan balik bertanya.

“Di ITB,” jawab Ica. Dan tidak bisa menangkap nada dibalik suara Ica.

“Oh...terus dia teman SMA ya?” Dan terus bertanya.

Tapi tidak ada jawaban. Dan menjauhkan Hp dari telinganya dan mengecek layar Hp-nya tersebut – telepon masih tersambung.

“Halo...halo...halo...,” Dan berusaha memanggil.

Tetap tidak ada jawaban dan tiba-tiba sambungan terputus.

Dan tidak tahu apa penyebabnya – bisa jadi pulsanya habis atau Ica yang memutuskannya. Tapi ia lupa cara mengecek pulsa di kartu seluler yang jarang ia gunakan itu.

“Sial,” umpatnya dalam hati.

Masih dengan pikiran yang berkecamuk, Dan memutuskan untuk browsing di Internet. Sembari berjalan, ia menukar kartu selulernya dengan yang biasa ia gunakan dan langsung mengetik sms:

”Ca, sory y, gw ngmngx tiba2 gt. Gw tw lo ud puny cwo, tp gw syng bgt ma lo, Ca. Gw jga tw lo qtax mw ptus ma cwo lo. Gmn sh sbenerx?”

Dan menunggu dan beberapa saat kemudian terdengar bunyi tawa bayi yang menandakan ada sms masuk.

“Lho, lo tw darimana gw mw ptus ma co gw??”

Dan balas :

“Ada dh pkokx...tp bner kan? Asal lo tw aj gw tlus syang ma lo, Ca,

deeply form my heart. Prasaan lo gmn sm gw?”

Ica balas :

“Nita yg blg ya?”

Ia masih bersikeras mengetahui darimana Dan mendapat info tersebut.

Dan balas :

“Gw ga bsa blg, Ca, ntar orgx mrah lg sm gw. Trus gmn, Ca?”

Tak ada balasan. Dan menunggu dengan putus asa. Ia menunggu sambil mengirim e-mail kepada salah seorang dosennya. Ketika itulah ia akhirnya ia mendengar suara tawa bayi kembali. Dan bergegas membuka sms setelah menunggu lebih kurang setengah jam:

“Gw nganggep elo temen baek gw. Yg mw ngajarin gw klw gw ga bsa. Yg mw

dengerin cerita gag jlas gw. Maav yah Dan gw juga suka sama lo...”

Hati Dan berdesir saat membacanya dan ia melanjutkan membaca:

“Tp cma sbatas temen baek gw...”

Dan yang tadi seolah-olah sudah melambungkan harapannya tinggi-tinggi, kini dipaksa menghempaskannya kembali harapannya ke bawah, ke bagian bumi paling dalam, dinjak-injak sampai hancur lebur.

“Lo bsa koq dapet ce yg lbh baek dr gw.

Lagian gw blm ptus ma co gw. Qta lg brusha bkin hubgan ni jlan lgi.

Maav yah Dan. Gw harap lo ngerti.”

Hati Dan hancur lebur. Ia tidak mengirim sms balasan. Tanpa terasa matanya panas oleh air mata, tapi ia berusaha untuk menahannya karena ia sedang berada di tempat umum. Ia sudah kehilangan minatnya browsing dan ia memutuskan untuk pulang.

DAY 2

Dan memutuskan untuk tidak meng-sms Ica. Ia berharap Ica-lah yang mengirim sms kepadanya. Tapi niatnya itu tidak bisa dia pertahankan. Akhirnya ia sudah tidak tahan lagi dan siang itu menjelang shalat Jum’at, Dan mengirim sms yang berbunyi:

“Gw ngerti koq Ca...tp gw ga bs berhnti mkirin lo. Ga ad toh ksmptn bwt gw?”

Dan harus menanti selama 6 jam lebih sebelum akhirnya ia mendapatkan sms balasan dari Ica sorenya:

“Org yg lo taksir ud puny co. dan gw syang ma Sendi.

Kesempatan ap yg lo minta dr gw?”

Dan balas :

“O...Sendi y nmax...Bner ap lo syang ma dy? Bkanx kmrn sempet mw ptus?

Gw pgen lo kash gw ksmptn bwt jd cwo lo, bwt nunjkin rsa syng gw sm lo, Ca.

Ga pnhkah lo ngrasa sswt ma gw?”

Dan menanti dengan resah malam itu. Sms balasan tak kunjung juga datang. Ia mulai berpikir Ica tidak terlalu menganggap penting sms darinya dan itu menunjukkan Ica memang tidak punya rasa sedikitpun terhadapnya. Akhirnya ia memutuskan mengirim sms keputusan malam itu juga, pukul 11 malam, sms yang merupakan puncak frustrasinya:

“Udh lah Ca, gw ngalah aj, kyaknya lo mang syang ma org laen. Yg pntng lo sneng dh....

Tp asal lo tw aj, gw bener2 syang ma lo, Ca, n gw bkal cba ttep nunggu lo. Lo msh tetep mw temenan m gw kan?”

Dan menulis “kyaknya lo mang syang ma org laen” bukannya “kyaknya lo mang syang ma Sendi.” Alasannya, ia tahu bukan Sendi lah penyebab utama Ica menolaknya. Dan juga menutup sms-nya dengan pertanyaan karena ia rindu akan sms balasan dari Ica.

DAY 3

Tapi sampai keesokan harinya pun, Ica tidak membalas sms-nya. Dan tambah frustrasi dan memutuskan untuk kembali menelepon Ica dengan kartu seluler yang sama dengan yang ia gunakan saat menelepon Ica dua hari yang lalu. Dan menelepon dan ia tahu bahwa teleponnya telah diangkat tapi tidak ada suara yang menjawab.

“Halo, Ca...,” Dan coba memulai.

Tapi akhirnya sambungan pun diputus. Dan mencoba sekali lagi dan alangkah terkejutnya ia ketika mendapati nomornya telah dialihkan. Ia curiga Ica telah sengaja melakukannya. Ia tidak menyangka Ica akan berbuat seperti itu seolah-olah nomornya adalah nomor yang sangat berbahaya. Dan mengganti kartu selulernya dan langsung mangirim sms:

“Ca, lo mrah ya sm gw? Gw td cm mw minta maaf sma lo, sory gw ud bwt lo ga enak. Sory bgt... gw tw gw yg slah, gw tlalu egois...

Tp lo tetep mw jd temen gw kan? Jwb y...”

Dan mengulangi pertanyaan sebelumnya dan meminta balasan.

Tetap...tidak ada balasan dari Ica. Dan kembali mencoba menelepon sampai puluhan kali tanpa hasil. Tampaknya Ica memang tidak mau mengangkat teleponnya dan dengan perasaan sedih Dan mengirim sms:

“Ca, jgn gt sh. Lo jhat bner sih ga mw ngangkat tlpon gw, ngmong sh, lo nyiksa gw bgt klw lo cuekin gt. Ok lo nolak gw, tp jgn sampe pshbtn qt ptus dong.

Blas y....”

Dan benar-benar putus asa dan dia tahu memang sudah saatnya dia melupakan Ica.

Tapi tak diduga, Ica membalas sms-nya 1 jam kemudian:

“Dan, gw ga prnah mrah sm lo. Gw cm ga tw aja gmana ngomongnya ma lo.

Gw pgen ngmong, gw ga prnah mrah sma lo gra2 kya gni.

Gw trimakasi bgt lo ngertiin gw.

Gw juga gag pgen lo nungguin gw. Yang namanya hati, itu gag pasti.

Gw gag pgen lo stuck aja sma gw.

Lo harus ngebiarin idup lo jlan lg.

Gw slalu nganggep lo tmen baek gw, Dan.

Oya, kabarin gw kalo ada nilai yang uda klwr yah....”

Dan senang mengetahui ternyata Ica tidak marah kepadanya. Tapi ia juga semakin sadar alasan Ica menolaknya bukanlah karena ia mau baikan lagi dengan Sendi, melainkan karena ia memang tidak cinta padanya.

Hati Dan pedih saat ia mengingat saat-saat indah saat ia pedekate terhadap Ica.

Hatinya pedih melihat bagaimana orang lain bisa diterima dan dicintai oleh pasangannya.

Dan akhirnya membalas sms Ica:

“Thx bgt ya Ca, akhirnya gw lega...

Soal prasaan gw sma lo, gw ga tw gmn, jlanin aj deh dlu sprti kta lo, liat gmnax

ntar aja dh. Trus soal yang kemarin2, anggap aj gw lg latian bwt casting film Sang

Pemimpi y, hehe...

Siip lah ntar gw kbarin...”

Begitulah akhirnya, Dan harus bisa menerima kenyataan Ica tidak bisa menerimanya. Dan tidak tahu apakah ia harus mencari yang lain, yang ia rasa bakal sulit untuk sementara ini.

Just see how it’ll be then, life must go on, and the true love must’ve been waiting or him.

God must have a better plan behind this....